Minggu, 01 April 2012

Yogyakarta yang Paradoks

Jogjakarta punya kesan tersendiri bagi
saya. Selain teh manis Jogja,
Lempuyangan dan Malioboro yang tidak
pernah hilang dari ingatan, tetapi juga
kesan ‘never ending Asia’. Jogjakarta
adalah refresentasi kota yang bisa
mempertahankan kultur kedaerahnnya
dengan kuat. Kota pelajar yang tradisional
tetapi futuristik. Mudah saja
membandingkan Jogja dengan Bandung
misalnya, kalau Bandung nge-pop, kalau
Jogja mentradisional.

Jogjakarta dengan wilayah kampus yang
tersebar dimana-mana menunjukan bahwa
penduduk Jogja sangat peduli pendidikan.
Wilayah yang asri, tenang dan damai
disinyalir sebagai alasan bersekolah di
Jogja. Karena hal ini, saya merasa kesan
Jogja sangat kondusif untuk membangun
kedewasaan bermasyarakat.
Teraturnya Kota di Jogjakarta bisa dilihat
dari intensitas macetnya. Jika Bandung
sudah mendekati Jakarta dalam hal macet
terutama saat akhir minggu, maka Jogja
lenggang. Lalulintasnya tidak berantakan,
kebersihan jalannya terjaga. Biasanya jika
melihat seperti ini, saya bisa menyimpulkan
bahwa penduduk Jogjakarta sangat peduli
dengan kotanya. Satu sama lain saling
membantu menjaga, mengawal kota agar
tetap asri dan tetap nyaman untuk siapa
saja yang datang ke Jogja.
Suasana nyaman, asri dan penduduk yang
dewasa ini berbanding terbalik dengan
suporternya, ya PSIM Jogjakarta yang
kemaren bertanding dengan PSS Sleman
harus dihentikan di tengah pertandingan
karena kerusuhan suporter dengan
aparat.
Saya berpikir bahwa suporter itu
berbanding lurus dengan kedewasaan
warga kota. Dewasa maksudnya tingkat
pendidikan, kemakmuran dan
kesejahteraan warga seimbang. Disamping
itu, dewasa juga dalam berpikir dan
bertindak. Kalau suporter dewasa, maka
menonton itu benar-benar hiburan dan
men-support team kesayangan. Menang
dan kalah hal biasa, ketika menang mereka
senang, ketika kalahpun mereka bisa
menerima tanpa merusak, menganiaya,y
apalagi menjarah.Kenyataannya, warga
kota yang saya pikir dewasa dalam
bertindak ternyata tidak berlaku bagi
sepakbola. Buktinya ketika bertanding di
Jogja antara PSIM dan PSS tetap saja
terjadi kerusuhan. Memang susah
menebak dinamika sepakbola, Ruud Gulit
pernah mengatakan bahwa sepakbola
bukan matematika, begitu pula
suporternya. Unpredictable.
Hal ini tidak saja terjadi di dalam negeri,
bahkan di luar negeri pun yang katanya
peradabannya lebih maju dari bangsa
timur, persaingan, permusuhan antar
suporter tetap abadi sampai sekarang.
Misalnya antar suporter Real Madrid dan
Barcelona, suporter MU dan suporter
Liverpool selalu gontok-gontokan. Yang
paling fenomenal di Skotlandia antara
suporter Glasgow Celtic dan Glasgow
Ranger. Hmm saya tidak mau membahas
suporter luar negeri, karena fanatisme
mereka tidak kalah dengan fanatisme
suporter dalam negeri.
Kembali ke Jogja, melihat kerusuhan
suporter kemarin menggugurkan
anggapan saya bahwa suporter sepakbola
itu berbanding lurus dengan kedewasaan
warga kota. Bisa jadi suporter sepakbola
itu tidak berbanding lurus dengan
kedewasaan warga kota. Saya tetap
berharap situasi persepakbolaan itu tetap
kondusif. Mendukung team kesayangan
dengan sehat, sportif, tidak anarkis, dan
fair play.

sumber : kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar