Minggu, 01 April 2012

Tangis dan Cinta Suporter Bola

SAYA tak akan pernah melupakan
pemandangan ini. Dua gadis remaja
berpelukan sambil menangis tersedu. Di
sebelah mereka duduk lelaki kekar
bertelanjang dada. Kedua lengannya
diletakkan di belakang kepala. Mata lelaki
kekar yang tubuhnya dipenuhi tato ini
memerah dan berkaca-kaca.

Di sebelahnya
duduk lelaki berambut putih yang menutup
wajah dengan kedua tangan. Pundak lelaki
setengah baya itu terguncang pertanda
dia sedang menangis.
Mereka adalah bagian dari suporter klub
Newcastle United yang terguncang
setelah klub kesayangan dipastikan
terdegradasi dari Liga Primer Inggris,
pada musim kompetisi 2008/2009. Saya
kebetulan menyaksikan tayangan itu
secara tak sengaja. Dan saya sangat
terkesan. Suporter bola menangis karena
timnya terdegradasi!!
Sejak itu, setiap akhir musim kompetisi,
saya selalu menyimak partai-partai sarat
emosi sekaligus penentuan hidup mati. Di
Liga Inggris, penentuan siapa yang
terdepak ke Liga Championship terkadang
harus ditentukan pada partai terakhir.
Dan saya kembali menemukan
pemandangan yang sama. Suporter
sepakbola, tua-muda, laki-perempuan,
semua menangis tersedu ketika tim
kesayangannya tak mampu bertahan.
Bahkan saya pernah menyaksikan adegan
mengharukan. Bagaimana semua suporter
berdiri dan memberikan tepuk tangan
penghormatan kepada pemain, beberapa
saat setelah klub mereka dipastikan
terdegradasi. Suporter bertepuk tangan
keras-keras dengan air mata bercucuran.
Sekalipun terdegradasi, tak ada cacian dan
makian. Para suporter tahu, para pemain
kesayangan telah berusaha sekuat tenaga.
Namun masih ada klub lain yang lebih
pantas dan lebih hebat. Dukungan tetap
diberikan kendati klub tercinta turun
kasta. Dan dukungan seperti ini cukup
manjur. Newcastle, misalnya, hanya
bertahan 1 musim di Liga Championship dan
sejak 2010 kembali mencicipi kasta tertinggi
Liga Primer Inggris.
***
Melihat reaksi suporter Liga Inggris pada
klub kesayangan, saya teringat pada
suporter di Indonesia. Mungkin karena
budaya yang berbeda, suporter bola
tanah air punya cara berbeda untuk
mengekspresikan kecintaan pada klub.
Yakni memukul wasit, mengejar offisial klub
lawan, membakar apa yang bisa dibakar di
stadion, melempari suporter lawan, atau
tawuran massal dengan masyarakat.
Walau tidak semua, namun suporter bola
Indonesia mudah tersulut emosi.
Kekecewaan pada penampilan klub
kesayangan terkadang diwujudkan dalam
bentuk yang ‘luar biasa’.
Untunglah, akhir-akhir ini berita kebrutalan
suporter relatif minim. Kalau pun ada
namun belum dapat dikategorikan sebagai
luar biasa.
***
Kenapa saya mengangkat tema suporter
pada tulisan ini? Karena saya pikir,
suporter bisa memberikan kontribusi
signifikan pada klub sepakbola. Bukan
hanya dalam bentuk dukungan saat
berlaga, namun juga dukungan di luar
laga.
Secara umum, ada beberapa pos
pemasukan yang bisa didapatkan klub
sepakbola yang berlaga dalam sebuah
kompetisi. Yakni pemasukan tiket
pertandingan (dalam partai kandang),
kerjasama dengan sponsor, merchandising
(penjualan pernak-pernik terkait klub:
kaos, selendang dsb), hak siar televisi,
transfer (penjualan) pemain dan bagi hasil
dengan liga.
Dari enam pos dana ini tiga diantaranya
terkait langsung dengan suporter. Tiket
pertandingan, misalnya sangat
ditentukan oleh banyak tidaknya
penonton. Kerjasama dengan sponsor
juga dipengaruhi oleh banyak tidaknya
suporter (selain prestasi klub tentu saja).
Klub yang minim suporter hampir
dipastikan tak akan mendapat sponsor.
Dari sisi bisnis, perusahaan pasti hanya
mau mengiklankan produk jika bisa
dipastikan produk itu akan dilihat banyak
orang. Merchandising juga bisa dijadikan
alternatif pemasukan. Di Eropa, penjualan
kaos replika milik Lionel Messi, Cristiano
Ronaldo atau Wayne Rooney, misalnya,
bisa mendatangkan pemasukan yang
signifikan bagi klub.
***
Saat ini di Indonesia, ada beberapa ‘klub
kembar’ yang berlada di kompetisi yang
berbeda. Jika disimak, rata-rata klub yang
punya dualisme manajemen ini punya basis
suporter yang cukup besar. Saya tak
terlalu paham bagaimana sejarahnya
hingga muncul dualisme manajemen,
namun saya menduga, ini terkait erat
dengan nama dan sejarah klub, dan juga
suporter.
Klub yang baru didirikan bisa dipastikan tak
akan dilirik sponsor. Klub dengan sejarah
panjang dan basis suporter yang jelas
akan lebih mudah menjaring sponsor.
Adanya klub kembar ini mungkin dimaksud
sebagai jalan pintas untuk dikenal dan
disukai suporter. Sekalipun, tentu saja,
tidak sesederhana itu.
Untuk menyukai sebuah klub ada
prosesnya. Diperlukan ikatan emosional
yang terkadang sukar dijabarkan dengan
akal sehat, dan tak dapat dilukiskan
dengan kata-kata. Jadi kalau ada
suporter lebih memilih klub A yang berlaga
di liga tidak resmi, itu lebih karena faktor
emosional. Dan yang seperti ini tak akan
bisa diperdebatkan hingga akhir jaman.
Sebagai contoh, saat ini Spanyol dapat
dikatakan sebagai timnas terbaik di dunia.
Namun apakah penggemar bola akan
dengan mudah menjagokan Spanyol dalam
Piala Eropa nanti? Tidak juga. Saya kenal
banyak penggemar timnas Italia yang
tetap setia dengan Azzuri. Saya juga
kenal penggemar Belanda yang sudah
menjagokan timnas Oranye semasa Gullit-
van Basten-Rijkaart. Kehebatan Spanyol
tidak otomatis membuat pecinta Belanda
ini berpindah.
Saya juga sejak beberapa tahun terakhir
menyukai Inggris. Sekalipun penampilan
Inggris saat Pra Piala Eropa pas-pasan,
saya tetap menjagokan mereka. Saya
menyukai cara Spanyol bermain namun itu
bukan berarti saya akan melupakan
Inggris dan ‘pindah ke lain hati’.
***
Terkait dualisme kompetisi dan dualisme
klub, saya pikir biarlah waktu yang akan
menjadi penentu. Idealnya adalah IPL dan
ISL bergabung, namun saya pikir alternatif
ini mungkin dapat dikatakan sebagai mimpi
di siang bolong.
Karena realitanya kini ada dua kompetisi,
yang satu legal dan satunya lagi ‘tidak
legal’, maka biarlah semuanya diuji oleh
waktu. Waktulah yang akan menentukan
siapa yang akan bertahan dan dicintai
suporter. Karena itu, menjadi tugas dari
masing-masing klub untuk menjalin
hubungan emosional dengan suporter.
Menurut hemat saya, klub yang bisa
bertahan adalah mereka yang mampu
memaksimalkan suporter. Yang
menganggap suporter bagian dari klub.
Dan bukan semata asset untuk
kepentingan bisnis.
Bagi klub-klub di ISL, memaksimalkan
suporter merupakan alternatif pemasukan
setelah APBD tak bisa digunakan. Tentu
dana yang didapatkan dari suporter belum
cukup untuk operasional klub. Namun
untuk sekedar nambah-nambah, sangat
lumayan. Keberadaan suporter ini yang
bisa ‘dijual’ kepada sponsor.
Untuk klub di IPL, dana operasional tak
menjadi masalah karena adanya
konsorsium. Namun itu bukan berarti klub
di IPL harus mengabaikan suporter. Kelak,
di masa depan, suporter bisa menjadi
penentu, terutama jika konsorsium
menemukan investor yang tertarik
membeli saham klub.
***
Di Indonesia, kita mungkin tak akan pernah
menjumpai ada suporter yang menangis
ketika timnya terdegradasi. Menangis
bukan budaya suporter Indonesia.
Namun jika ditangani dengan tepat,
suporter akan menjadi penentu bertahan
tidaknya sebuah klub.
Maju terus sepakbola Indonesia!!!
Salam,

sumber : kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar